BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
     Infeksi TORCH (Toxoplasma, Rubella, Cytomegalo dan Herpes Simplex-virus) pada wanita hamil sering kali tidak menimbulkan gejala atau asimtomatik, tetapi dampak serius bagi janin yang dikandungnya.Toxoplasmosis pada wanita hamil dapat menyebabkan berbagai kelainan pada fetus. Pada infeksi rubella, penelitian epidemiologi di India, menunjukan bahwa wanita usia subur rentan untuk terkena infeksi ini. Infeksi pada saat hamil dapat menyebabkan kelainan kongenital pada 10-54% kasus. Virus sitomegalo (CMV) pada individu dewasa sering kali asimtomatik, tetapi pada kehamilan gejala klinis yang timbul menjadi lebih berat. Infeksi oleh CMV berkaitan dengan keadaan sosioekonomi yang rendah. Sedangkan virus herpes pada saluran reproduksi wanita hamil menjadi sumber transmisi HSV ke janin pada trimester pertama kehamilan berkaitan dengan peningkatan kejadian abortus spontan dan malformasi kongenital.
     Infeksi maternal oleh organisme yang menyebabkan TORCH seringkali sulit didiagnosis akibat gejala klinis yang seringkali tidak muncul. Oleh karena itu, pemahaman penegakan diagnosis infeksi akut TORCH pada kehamilan yang didasari pada hasil pemeriksaan serologi harus dipahami agar tidak terjadi over diagnosis pada pasien. 
     Tulisan berikut akan membahas infeksi TORCH pada kehamilan, patofisiologi, penegakan diagnosis, penanganan terkini dan komplikasi yang dapat ditimbulkan baik pada wanita hamil maupun janin atau neonates, serta upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah kejadian tersebut.
1.2  Tujuan
Mahasiswa dapat mengerti tentang infeksi  yang menyertai kehamilan ibu dan bagaimana cara mengatasinya.
BAB II
ISI DAN PEMBAHASAN
| 2.1 INFEKSI VIRUS HERPES PADA KEHAMILAN Infeksi herpes virus hominis pada orang dewasa biasanya   ringan.  Walaupun demikian, penyakit ini dapat menyebabkan kematian   janin dan bayi.  Pada bayi dapat dijumpai gelembung-gelembung pada kulit   di seluruh badan, atau pada konjungtiva dan selaput lendir mulut.    Kematian bayi dapat pula disebabkan oleh ensefalitis herpes virus. Virus tipe II dapat menyebabkan herpes genitalis dengan gelembung-gelembung berisi cairan di vulva, vagina, dan servik, yang disebabkan oleh herpes simplex virus (HSV) sehingga sering disebut herpes simplek. Herpes simplek ditularkan melaluin hubungan seksual (fahmi.syaiful,1997,Penyakit Menular   Seksual,Jakarta:Fakultas kedokteran UI,hal 110) Sebagian besar infeksi oleh virus herpes simpleks tipe   2 (HSV-2) tidak menunjukan gejala klinis atau hanya memberikan gejala ringan,   sehingga wanita yang mengalami infeksi HSV-2 cenderung tidak mencari   pertolongan medis dan oleh karena itu seringkali tidak terdiagnosis.   Prevalensi infeksi virus HSV-2 pada wanita usia produktif di Amerika   diperkirakan sebesar 25% dan dari seluruh populasi yang terinfeksi hanya   sekitar 25% yang mengeluh adanya gejala, seperti nyeri, gatal, dan erupsi   vesikoulseratif. Penurunan imunitas tubuh yang terjadi selama kehamilan   menyebabkan seorang wanita rentan terinfeksi HSV-2. Pada saat kelahiran,   dilaporkan 2% dari wanita dengan serologi HSV-2 positif mengalami gejala klinis.   Infeksi asimptomatik dapat terdeteksi pada 1-2% dari populasi wanita hamil   melalui isolasi virus dan 20% dengan metode diagnostic polymerase chain   reaction (PCR). Kejadian infeksi herpes genital primer selama kehamilan   diperkiran sebesar 2% dan di antara wanita dengan serologi HSV-2 negatif   tetapi memiliki pasangan seksual yang seropositive terhadap HSV-2, 13% akan   mengalami infeksi herpes genital pada saat kelahiran. Hampir 2/3 kasus herpes   genital yang terjadi selama kehamilan tidak bergejala. Herpes neonatal   merupakan komplikasi yang memberikan dampak klinis cukup berat bagi neonates.   Insidens kejadian ini bervariasi di seluruh dunia, berkisar antara 1 dalam   2000-15.000 kelahiran hidup. Episode pertama infeksi herpes genital pada   trimester akhir kehamilan memberikan kemungkinan infeksi pada neonates yang   lebih besar karena hamper seluruh herpes neonatal terjadi akibat kontak   langsung selama proses persalinan. (Nelwan,Erni.2008.Penyakit-Penyakit pada Kehamilan Peran Seorang   Internis.Jakarta:InternaPublishing.hal 307) 2.2 Patogenesis Virus ini menginfeksi melalui dermis dan epidermis dari   kulit atau mukosa yang mengalami abrasi. Pada saat terjadi infeksi proses   berlangsung secara subklinis. Infeksi terjadi pada ujung saraf sensoris atau   otonom. Proses penyebaran virus di tubuh dapat terjadi secara lokal dan   sistemik. Saat seseorang terinfeksi maka respon imun selular dan humoral akan   teraktivasi. Berat ringannya penyakit juga ditentukan oleh respon ini.   Seseorang yang memiliki efek pada respon imun dapat mengalami infeksi herpes   berulang. Demikian pula dengan kondisi kehamilan yang merupakan kondisi   imunokompromis, sehingga risiko untuk terkena infeksi herpes juga lebih   tinggi. Infeksi virus herpes simpleks tipe 1 (HSV-1) lebih   sering ditransmisikan ke janin, dan lesi yang ditimbulkan pada neonatus   terbatas pada kulit, mata dan membran mukosa, sementara infeksi oleh HSV-2   lebih menyebar dan dapat menginvasi sistem saraf pusat sehingga menyebabkan   gangguan perkembangan di kemudian hari. 2.3 Penegakkan Diagnosis Anamnesis dan pemeriksaan fisik tidak dapat dijadikan   pegangan dalam mendiagnosis infeksi HSV, karena infeksi ini seringkali   asimptomatik dan lesi pada genital yang mungkin ada tidak khas mengarah ke   infeksi HSV. Diagnosis infeksi HSV dapat ditegakkan dengan uji polymerase   chain reaction (PCR) untuk mendeteksi keberadaan DNA virus di saluran   reproduksi. Metode diagnostik ini lebih disukai ketimbang isolasi virus   dengan kultur, karena sensitivitas dan spesifitasnya yang lebih tinggi. Namun   karena biaya yang mahal, uji diagnostik dengan PCR saat ini penggunaannya   relatif terbatas. Pemeriksaan titer antibodi spesifik terhadap virus herpes   simpleks dapat dilakukan untuk mengidentifikasi individu yang terinfeksi,   walaupun spesifisitasnya tidak spesifik terhadap tipe virus tertentu dan   hasil yang didapat seringkali membingungkan. (Nelwan,Erni.2008.Penyakit-Penyakit pada Kehamilan Peran Seorang   Internis.Jakarta:InternaPublishing.hal 307) 2.4 Terapi Penularan kepada anak dapat terjadi melalui: a.       Hematigen melalui plasenta b.      Akibat penjalaran ke atas dari vagina ke   janin apabila ketuban pecah c.        Melalui kontak langsung pada waktu bayi   lahir Diagnosis tidak sulit yaitu apabila terdapat   gelambung-gelambung di daerah alat kelamin, ditemukannya benda-benda inklusi intranuklear   yang khas di dalam sel-sel epitel vulva, vagina atau servik setelah dipulas   menurut papanicolau, memberi kepastian dalam diagnosis. Herpes genitalis merupakan infeksi virus yang   senantiasa bersifat kronik, recurrent, dan dapat dikatakan sulit diobati.    Sampai saat ini hanya satu cara pengobatan herpese yang cukup efektif, yaitu   antivirus yang disebut acyclovir.  Obat-obat analgetik dipakai untuk   mengurangi rasa nyeri di daerah vulva.  Acyclovir dalam kehamilan tidak   dianjurkan, kecuali bila infeksi yang terjadi merupakan keadaan yang   mengancam kematian ibu, seperti adanya ensefalitis, pneumonitis, dan atau   hepatitis, dimana acyclovir dapat diberikan secara IV.   (www.infeksi.com/articles.php?lng=in&pg=1263) Bila pada kehamilan timbul herpes simplek perlu   mendapat perhatian yang serius, karena melalui plasenta virus dapat masuk ke   sirkulasi fetal serta dapat menimbulkan kerusakan atau kematian pada janin. Infeksi neonatal mempunyai angka mortalitas   60% , separuh yang hidup menderita cacat neurologis atau kelainan pada mata.   Bila transmisi terjadi pada kehamilan trimester I cebderung terjadi abortus   atau malformasi congenital berupa mikroinsefali, sedangkan trimester II   terjadi prematuritas. Pada bayi baru lahir dari ibu yang manderita herpes   simplek akan mengalami kelinan berupa hepatitis, infeksi berat, ensefalitis,   keratokonjungtivitis, erupsi kulit berupa vesikel herpetiformis dan bahkan   busa lahir mati. (fahmi.syaiful,1997,Penyakit Menular   Seksual,Jakarta:Fakultas kedokteran UI,hal 113) SC dianjurkan pada wanita yang pada saat kelahiran   menunjukkan gejala-gejala akut pada genetalia, untuk menghindari penularan   akibat kontak langsung.  Karena bila dengan persalinan pervaginam 50%   bayi akan mengalami infeksi.  Pada pasca persalinan, ibu yang menderita   herpes aktif harus diisolasi.  Bayinya dapat diberikan untuk menyusui   bila ibu telah cuci tangan mengganti baju yang bersih.  2.5   Penatalaksanaan 1.        Untuk ibu hamil Ibu hamil   yang menderita herpes simplek genitals primer dalam 6 minggu terakhir masa kehamilannya   dianjurkan untuk SC sebelum atau dalam 4 jam pecahnya ketuban. 2.      Untuk bayi lahir dari ibu dengan herpes   simplek banyak  runah   sakit yang menganjurkan untuk mangisolasi bayi baru lahir dari ibu yang   mengalami herpes simplek. Bayi harus diawasi ketat selama 1 bulan pertama   kehidupannya. Untuk bayi dengan ibu herpes simplek dan melalui pervaginam   harus diberikan profilaksis asiklovir intravena selama 5-7 hari dengan dosis   3x10 mg/kgBB/hari.  (fahmi.syaiful,1997,Penyakit Menular   Seksual,Jakarta:Fakultas kedokteran UI,hal 118,119) | 
BAB III
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Penyakit menular seksual yang disebabkan oleh virus herpes simpleks tipe I atau tipe II yang ditandai adanya vesikel yang berkelompok di atas kulit yang sembab dan merah. Vesikel ini paling sering terdapat di sekitar mulut, hidung, daerah genital dan bokong, walaupun dapat juga terjadi di bagian tubuh lain.
Terdapat 2 jenis virus herpes simpleks yang menginfeksi kulit, yaitu HSV-1 dan HSV-2. HSV-1 merupakan penyebab dari luka di bibir (herpes labialis) dan luka di kornea mata (keratitis herpes simpleks); biasanya ditularkan melalui kontak dengan sekresi dari atau di sekitar mulut. HSV-2 biasanya menyebabkan herpes genitalis dan terutama ditularkan melalui kontak langsung dengan luka selama melakukan hubungan seksual.
Pengaruh herpes genital pada kehamilan. Virus dapat sampai ke sirkulasi fetal melalui plasenta dan dapat menyebabkan kerusakan dan kematian janin, Infeksi neonatal ( 0-20 hari) angka mortalitasnya 60% jika dapat bertahan hidup setengahnya mempunyai kemungkinan cacat neurologis yang nantinya juga berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan serta menyebabkan kelainan mata, dapat menyebabkan kelainan ensefalitis, mikro/hidrosephalus, koriodorenitis, keratokonjungtivitis, serta dapat menyebabkan abortus dan prematuritas.
